Cara Menjawab Pertanyaan Sulit Anak

Cara Menjawab Pertanyaan Sulit Anak

Apakah Anda sering merasa bingung menjawab pertanyaan dari anak Anda? Simak artikel ini untuk mengetahui cara menjawab pertanyaan sulit anak.

“Bu, anak perempuan, kan lahir dari ibu ya. Berarti, kalau anak laki-laki, lahirnya dari ayah, dong?”

“Pak, kenapa gajah punya belalai tapi burung nggak punya?”

Kok air minum disebut air putih sih, padahal kan warnanya bening?”

Pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga dan unik ini sering sekali dilontarkan oleh anak-anak kita. Tak jarang, kita sering kebingungan untuk menjawabnya. Saking bingungnya, kebanyakan dari kita panik dan dengan gagap berkata, “Sebentar, ya sayang.” Lalu kalang kabut membuka smartphone, dan mencari jawaban-jawabannya. Kemudian menjelaskannya kepada mereka dengan panjang lebar.

Namun, setelah memberikan penjelasan yang rinci berdasarkan penelitian terkini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, anak malah menembak kita dengan rentetan pertanyaan-pertanyaan baru:

“Apa itu rahim, dan kenapa cuma perempuan punya rahim, tapi laki-laki ngga?”

“Terus, kenapa burung mesti terbang? Kan, dia punya kaki.”

Pertanyaan-pertanyaan lanjutan ini membuat kita semakin pusing menjawabnya, dan semakin kita menjawab, semakin muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak akan memuaskan anak-anak kita. Bahkan, banyak orang tua menjadi gemas, “Duh, kamu ini banyak tanya, deh. Nanti kalo udah gede, kamu bakalan ngerti maksudnya yang ibu tadi jawab apa. Udah, ya, nggak usah tanya-tanya lagi.”

Padahal, kita tidak tahu dampak dari yang baru saja kita katakan karena anak-anak kita yang tidak henti-hentinya bertanya. Bisa saja anak menjadi pendiam, atau menjadi pemalu dewasa nanti, karena sedari kecil tidak dibiasakan bertanya mengenai banyak hal.

Lalu bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan ajaib nan memutar otak itu? Smartparents tidak perlu khawatir. Terdapat dua cara bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan sulit anak.

cara menjawab pertanyaan sulit anak

(sumber: livingandloving.co.za)

 

Hal pertama adalah mulai memahami mengapa anak banyak menanyakan hal yang sulit.

Ternyata hasil penelitian Cecil Hardwood seorang guru Waldorf, dalam kumpulan jurnal Pendidikan Waldorf menyebutkan bahwa anak sedari umur tiga tahun sudah mulai menanyakan hal-hal yang bersifat mendasar dan luas, seperti layaknya seorang filsuf. “Siapa yang menciptakan Tuhan?” “Kenapa aku mati?” “Apa itu hidup?” dan sebagainya. Sesungguhnya, pertanyaan-pertanyaan ini bukan karena mereka ingin mengetahui pengetahuan tentang konsep kehidupan. Tetapi mereka ingin mendapatkan kepuasan mendengar suara yang menjawab yang diucapkan dengan cinta dan kehangatan dalam suara.

Baca Juga: 8 Hal yang Perlu Diketahui Sebelum Memberikan Pendidikan Seksual Anak

Selain itu, terdapat hal yang perlu diingat kembali bahwa, cara berpikir anak-anak dengan orang dewasa sangatlah berbeda. Kita sebagai orang dewasa sudah hidup bertahun-tahun, sedangkan anak baru saja hadir di dunia ini, yaa masih dalam hitungan jari. Sehingga, imajinasi yang ada di dalam pikiran mereka tidak ada batasnya. Berbeda dengan orang tua, yang sudah banyak bertemu dengan realitas dan terbentuk sudut pandangnya.

Menurut penelitian, hal ini dikarenakan, perkembangan otak anak umur tiga tahun terbilang sangat cepat, dan mereka (sangat) berusaha menghubungkan satu informasi dengan informasi lainnya tentang dunia yang (mereka percaya) selalu baru dan sangat menakjubkan.

Sehingga, ketika anak ditanya, “Kenapa ikan berenang di air?” Mereka tidak menjawab karena ikan adalah pisces, yang bernapas menggunakan insang. Melainkan, “Supaya nggak dimakan kucing.” Karena, informasi yang ada di dalam pikiran anak adalah, “Kucing suka makan ikan”. Ini lah mengapa jawaban dari pertanyaan anak tidak sesuai dengan apa yang ada di pikiran orang dewasa.

Selain itu, dalam pikiran anak-anak, lebih mudah menjelaskan sesuatu dalam bentuk deskripsi yang imajinatif dibanding dengan menjelaskan konsep yang berkaitan dengan fakta. Maka dari itu, cerita anak dan dongeng adalah salah satu metode yang paling sesuai untuk menjelaskan sesuatu kepada anak.

Barulah ketika anak menginjak usia tujuh hingga dua belas tahun, mereka lebih siap dengan jawaban yang lebih berhubungan dengan pertanyaan mereka. Namun, mereka belum membutuhkan jawaban yang bersifat terlalu teoritis. Contohnya, anak-anak mulai bertanya tentang benda-benda langit, tapi tidak dalam pemahaman matahari sebagai massa gas di luar angkasa. Melainkan terbitnya sang fajar setiap pagi membuatnya bersyukur dengan perasaan gembira.

Lalu, bagaimana cara menjawab pertanyaan-pertanyaan anak sesuai yang mereka inginkan?

Rudolf Steiner, seorang pendiri Pendidikan Waldorf, pernah diberikan pertanyaan oleh salah seorang orang tua, “Apa yang harus kita lakukan pada seorang anak kecil?” Dengan tenang, Steiner menjawab, “Tidak perlu melakukan hal yang spesial.”

potrait rudolf steiner

Rudolf Steiner, pendiri Pendidikan Waldorf (sumber: wikiperdia)

 

Hal itu terdengar sangat sederhana. Tapi, di balik jawabannya, terdapat tanggung jawab yang sangat besar bagi para orang tua (dan pendidik). Tanggung jawab apa? Yaitu, tidak kurang dan tidak lebih, apa yang kita lakukan di depan anak, baik dari hal yang sangat kecil hingga hal yang sangat besar, akan sangat berdampak bagi anak.

Baca Juga: Cara Mencegah Anak dari COVID-19 dengan Teori George H. Mead

Maka dari itu, ketika anak memberikan pertanyaan yang sulit, kita cukup memberikan jawaban – meskipun tidak seutuhnya benar sesuai fakta dan logika – harus dengan intonasi yang hangat dan penuh kelembutan. Hal ini dipercaya dapat membuat anak merasa disayangi dan dihormati atas apa yang telah ia pertanyakan.

Selain itu, terdapat teknik yang dipercaya ampuh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit anak. Bagaimana caranya? Tidak memberikan mereka jawaban, melainkan pertanyaan.

Kok bisa?

Seperti yang disebutkan sebelumnya, cara berpikir anak-anak berbeda dengan cara berpikir orang tua. Bagi anak, meja bukan hanya tempat untuk makan atau menyimpan barang. Tapi bagi anak, meja bisa jadi gunung, jadi tebing, jadi perahu. Maka, jika anak sudah memberikan pertanyaan yang sulit, mereka akan punya cara tersendiri untuk menjawab pertanyaan mereka.

Misalnya, ketika ada anak yang bertanya, “Bu, kenapa malaikat nggak keliatan?” Kita cukup menjawab mereka dengan, “Hhhmm.. Menurut kamu gimana, nak?” Kemungkinan, anak akan menjawab, “Soalnya, malaikat kayak anak kecil, suka main petak umpet kayak kita. Jadinya malaikat itu temen kita. Malaikat itu baik.”

Selain dapat membuka jawaban yang sebenarnya anak itu inginkan, Kim Allsup, seorang guru Waldorf, menyebutkan berbagai alasan mengapa kita sepatutnya tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan anak, yaitu sebagai berikut:

1. Agar anak menjadi seorang yang kreatif dan pemecah masalah

Ketika anak bertanya, “Ayah kalau berenang gimana?” Sebenarnya kita bisa menjawab, dengan menggunakan salah satu gaya renang, lalu mengatur napas, dan tahan napas ketika di dalam air. Tapi kita bisa menjawab dengan, “Kalau kamu gimana, nak?” “Buka baju, yah.” Dan kita bisa menjawab, “Ohh, supaya nggak basah ya?” “Iya, yah. Kalau basah, nanti ibu kasian harus bawa baju lebih.”

Bagi anak, memecahkan masalah dengan cara yang imajinatif lebih penting daripada menemukan jawaban yang realistis. Seiring waktu berjalan, anak pun akan belajar tentang bagaimana jawaban realistis dengan terus mendengarkan pertanyaan mereka sendiri.

2. Mengajarkan anak agar mandiri

Salah satu hal yang mendasar agar mengajarkan anak untuk mandiri adalah membiarkannya menjawab sendiri atas pertanyaan-pertanyaan yang diberikannya.

3. Membuat anak percaya bahwa ia didengarkan

Dengan kita tidak menilainya, membenarkannya, memujinya, melainkan benar-benar mendengarkannya, dapat membuat anak tidak akan berhenti-berhenti untuk bercerita kepada kita. Ketika ia beranjak dewasa, kita akan terkejut, bahwa ia tidak terlalu terbuka kepada kita, karena sedari kecil kita tidak terlalu mendengarkannya.

4. Membuat anak belajar menjadi seorang pembicara yang percaya diri

Jika anak malah diam dan terlihat malu akan jawabannya, kita dapat mendorongnya dengan memberi respon, “Ayah juga nggak tahu jawabannya. Kita cari tahu sama-sama, yuk.”

5. Mengajarkan anak seni dari percakapan

Peneliti menyebutkan bahwa, anak yang melakukan pembicaraan ketika makan malam bersama keluarga, cenderung mendapatkan nilai yang baik di sekolah dan terhindar dari penyalahgunaan narkoba.

6. Membuat anak merasakan ketakjuban

Ada kalanya pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan anak diwarnai dengan hal yang membuat kita terkesima. Maka dari itu, baik agar menunjukkan perasaan ketakjuban kita pada saat menyimak pertanyaan anak.

7. Menikmati mendengarkan apa yang anak akan jawab

Pertanyaan anak memang menakjubkan, tapi jawaban anak dari pertanyaannya sendiri juga tak kalah menakjubkannya. Kita memang memiliki segudang jawaban atas pertanyaan anak kita. Tapi dengan menjawab, “Menurut kamu gimana, nak?” akan membuat kita tersenyum dengan rasa terkesima.

Nah, demikianlah cara menjawab pertanyaan sulit anak. Hal pertama adalah dengan memahami cara mereka berpikir. Kemudian dengan tidak memberikan mereka jawaban, melainkan bertanya kembali. Hal ini tentunya disesuaikan dengan usia mereka.

Ketika usia mereka sudah cukup dewasa, kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka sesuai dengan teori yang ada. Nah, ketika memberikan mereka jawaban sesuai teori, kita juga bisa mengajak anak kita untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka melalui ruangbelajarSD. Di dalamnya terdapat video pembelajaran beranimasi dilengkapi dengan latihan soal. Ayo gabung sekarang juga!

IDN CTA Blog Dafa Lulu Ruangguru 2022

Muhammad Azka Rais