Putus Sekolah, Tapi Dapat Predikat Cum Laude UI
Apa yang ada dipikiran kalian saat mendengar kata “putus sekolah” atau “ujian paket C”? Sebagian besar masyarakat Indonesia sering kali mengasosiasikan kedua kata tersebut dengan hal-hal negatif. Namun, hal ini berbeda dengan apa yang dialami oleh Andri Rizki Putra. Putus sekolah dan mengikuti ujian paket C bukanlah sebuah halangan bagi pria kelahiran Medan 24 tahun silam untuk meraih sebuah kesuksesan.

Bagi Rizki, di negeri ini terdapat banyak sekali orang-orang pintar. Namun apalah arti kepintaran jika mereka tidak jujur. Kejujuran adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi oleh Rizki. Faktor inilah yang membuat Rizki memutuskan untuk menghentikan pendidikan formalnya.
Awal ceritanya bermula ketika Ujian Nasional SMP yang ia alami. Saat itu Rizki menemukan terdapat praktik kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Ada guru yang memberikan kunci jawaban kepada muridnya. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan reputasi sekolahnya sebagai salah satu sekolah terbaik di kota tersebut. Pria yang hobi traveling ini bermaksud melaporkan kecurangan tersebut pada kepala sekolahnya. Namun hasilnya nihil karena sebelum ia berhasil melapor, ia dicegat oleh seorang guru.
Kamu tahu apa yang terjadi? Guru itu malah berkata bahwa menyontek adalah perbuatan yang lumrah dilakukan oleh semua orang. Jika Rizki tidak mengikuti arus yang ada di masyarakat, maka ia akan menjadi pribadi yang tertinggal. Jadi intinya, guru tersebut malah menyarankan Rizki untuk turut melakukan perbuatan curang sama seperti yang dilakukan oleh teman-temannya. Padahal dengan tidak menyontek saja nilai Rizki sudah bagus lho. Penulis buku Orang Jujur Tidak Sekolah ini mendapat nilai rata-rata ujian nasional sebesar 8,75.

Rizki pun sempat merasa depresi dengan praktik kecurangan tersebut. Ia mengalami krisis kepercayaan terhadap pendidikan formal di negeri ini. Akhirnya laki-laki keturunan Tionghoa dan Medan ini memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan formal.
Lalu apakah Rizki menyerah terhadap dunia pendidikan? Tentu saja tidak. Ia tetap menjalankan kewajibannya sebagai pelajar. Setelah lulus SMP dan merasakan SMA di sekolah formal selama 2,5 bulan, akhirnya Rizki melakukan unschooling atau kejar paket C. Apa itu unschooling? Jadi sistemnya adalah belajar secara otodidak di rumah. Ia tidak pernah membeli buku pelajaran. Hal yang dilakukan adalah membuat rangkuman pelajaran yang kemungkinan akan keluar dalam ujian nasional. Baik melalui internet maupun buku yang ia pinjam dari saudaranya. Kemudian, Rizki pun mengikuti ujian paket C. Untuk lolos tes paket, dalam sehari ia menghabiskan 22 jam untuk belajar. ”Ujian paket seharusnya juga lebih sulit karena saya harus belajar enam mata pelajaran. Sebaliknya, ujian nasional hanya tiga mata pelajaran,” ujarnya. Jika ditotal, masa SMA hanya dilalui selama satu tahun saja. Ia berhasil lulus SMA di usia 16 tahun!
”Saat itu pun pengawas ujian sempat menyodori saya kunci jawaban agar saya lulus. Pasti saja saya tolak,” lanjutnya. Pendidikan pun ia dapatkan dengan sangat murah. Selama unschooling, hanya mengeluarkan biaya 100 ribu. ”Untuk fotokopi ijazah,” candanya.
Ibu Rizki pun sempat digunjingkan oleh tetangganya. Bagaimana bisa seorang ibu membiarkan anak tunggalnya putus sekolah dan mengikuti ujian paket C saja? Namun Rizki bisa menepis segala pandangan buruk itu. Ia berhasil menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di Unversitas Indonesia dengan ijazah paket C tersebut. Tidak sampai di situ, Rizki juga berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam waktu tiga tahun saja. Penghargaan sebagai lulusan termuda pun berhasil diraihnya dengan predikat cum laude.
Prihatin melihat sistem pendidikan serta banyaknya anak putus sekolah karena kurang biaya, memacu dirinya untuk mendirikan Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB). Yayasan ini memberikan pendidikan gratis paket A, B, dan C kepada orang-orang yang kurang mampu. Di sini ia menekankan kepada peserta didiknya bahwa kejujuran adalah suatu hal yang sangat penting. Menurutnya, kejujuran yang bisa melahirkan pemimpin bangsa yang hebat.

Peserta didik dari YPAB adalah seluruh masyarakat Indonesia yang putus sekolah. Beragam agama, usia, status perkawinan, siapa pun yang berniat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Pengajarnya pun adalah seorang volunteer alias tidak dibayar. Mulai dari pekerja kantoran hingga dokter gigi, semua turut berkontribusi demi memajukan pendidikan. Saat ini, YPAB memiliki tiga lokasi belajar yaitu Tangerang, Tanah Abang, dan Medan.
Tahun 2016 yang merupakan tahun keempat sejak berdiri, YPAB telah memiliki 275 peserta didik. 33 orang di antaranya telah lulus ujian nasional paket C dan 4 orang melanjutkan pendidikan ke universitas. Beberapa dari mereka pun ada yang kembali menjadi tenaga pelajar di yayasan tersebut. Salah satu asisten rumah tangga yang menjadi murid di yayasan ini pernah membagikan sedikit ceritanya. Sekarang jika ia ngobrol dengan teman-temannya, mereka sudah tidak nyambung lagi karena pola pikir mereka telah berbeda. Murid dari yayasan ini menjadi terlatih untuk berpikir secara lebih luas tentang masa depannya.

Saat Ini Rizki sedang siap-siap melanjutkan pendidikan S2 ke Harvard Graduate School of Education. Kita doakan semoga diterima ya, smart buddies! Ia berharap dengan memiliki pendidikan yang lebih tinggi, ia bisa membuat YPAB menjadi lebih baik lagi. Well, good luck, Rizki! (LP/TN)