Traktor Kang Darno

Dunia Kata - Cerpen - Traktor Kang Darno Karya A. Rantojati

Karya: A. Rantojati

Sudah seminggu ini Kang Darno kelimpungan menghadapi sikap istrinya yang berkebalikan dari biasanya. Ia tak habis pikir, Rus yang biasanya tenang dan pekewuhan berani mendesaknya menjual traktor peninggalan mendiang ayahnya. Bagi Kang Darno, menjual traktor peninggalan itu bukanlah perkara mudah. Sebab sebelum meninggal, ayah Kang Darno wanti-wanti berwasiat kepada anak-anaknya agar tidak menjual traktor itu dan sebisa mungkin merawatnya.

Kebetulan Kang Darno lah yang kebagian warisan traktor itu. Pikir Kang Darno, daripada traktor itu menjadi barang antik dan nganggur di rumah, lebih baik ia rawat dan gunakan untuk membajak sawah orang lain sebagai kerja tambahan di samping menjadi buruh tani di ladang orang. Hasilnya, jadilah Kang Darno sebagai buruh tani sekaligus tukang bajak sawah dengan traktor peninggalan orang tuanya itu.

Sikap Rus memang bukan tanpa alasan. Rano, anak sulungnya yang baru lulus SMA, perlu biaya yang tak sedikit untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Rano diterima masuk jurusan pertanian di salah satu universitas negeri di Yogyakarta yang memang terbilang bagus waktu itu. Dan kebetulan, Rano tergolong siswa yang pandai di sekolahnya dulu, sehingga dapat masuk perguruan tinggi tanpa perlu repot-repot mengikuti ujian seleksi.

Sementara itu, sudah satu bulan semenjak musim panen berlalu Kang Darno belum juga memperoleh permintaan membajak sawah orang. Biasanya, setelah panen musim rendeng seperti ini Kang Darno kebanjiran permintaan para tetangganya untuk sekadar membajak sawah sebelum musim tanam maupun mengurus sawah orang lain.

Sayangnya hanya dalam kurun waktu 2 tahun, permintaan tetangga Kang Darno untuk membajak sawah semakin menurun. Dan puncaknya adalah bulan ini, padahal tukang bajak sawah di Jatimaras dan sekitarnya ini bisa dihitung dengan jari. Setidaknya, sejauh yang Kang Darno tahu hanya ada 3 orang pembajak sawah selain dirinya, yakni Karmil, Bende, dan Gajol. Tapi selama bertahun-tahun ia menjadi tukang bajak sawah, baru kali ini rejekinya begitu seret.

Sebenarnya, bagi Kang Darno, berkurangnya permintaan membajak sawah tak akan menjadi masalah serius jika ia masih bisa bekerja sebagai buruh tani. Tapi, menurunnya permintaan membajak sawah malah menjadi pertanda akan masalah yang jauh lebih buruk bagi Kang Darno, bahkan orang-orang seperti dirinya di kampung ini.

Pikir Kang Darno, menurunnya permintaan membajak sawah berarti semakin berkurangnya warga kampung Jatimaras dan sekitarnya yang memanfaatkan tanahnya untuk bertani, entah menanam padi atau palawija. Tentu Kang Darno tahu betul alasannya. Orang-orang Jatimaras dan sekitarnya tak lagi tertarik untuk menggarap sawah yang biayanya tergolong tidak murah, belum lagi soal ancaman cuaca ekstrim dan serangan hama.

Baca Juga: Cerpen Kereta Menuju Langit Karya Mochamad Bayu Ari Sasmita

Sebab itulah orang Jatimaras lebih memilih untuk merantau ke luar kota. Ada yang berdagang, jadi kuli bangunan, ada pula yang memutuskan untuk menjadi buruh pabrik. Padahal, tanah pertanian di Jatimaras bukanlah tanah yang gersang dan tak menjanjikan. Sepanjang tahun tanah pertanian Jatimaras dialiri air Sungai Dampyang dari hulu di kaki Gunung Ciremai.

“Aku sudah tua, No,” ucap Haji Markum suatu hari ketika memutuskan untuk ngurug tanah sawahnya dan menyulapnya jadi tanah kavling yang siap ditanami pohon pisang, petai, melinjo, dan mangga.

Karang itu akan aku wariskan kepada anak-anakku. Mereka sudah besar, sudah berkeluarga.”

Dan mereka butuh tanah untuk ditanami beton, batu bata, rumah berpintu dan berjendela, gumam Kang Darno dalam hati. Sebenarnya, ia begitu kesal ketika mendengarkan penjelasan Haji Markum. Ia tak habis pikir, orang tua itu bakal berhenti bertani juga dan memutus salah satu jalan penghidupan bagi Kang Darno dan orang-orang kampung yang senasib dengannya.

Sebelum Haji Markum, banyak lagi para tetangganya yang mengubah tanah pertanian menjadi tanah hunian, bahkan menjualnya kepada orang lain yang juga ingin menjadikannya lahan permukiman komersil. Padahal, menurut Kang Darno, tanah pertanian Jatimaras sangat baik untuk pertanian. Air sungai yang mengalir sepanjang waktu dan tanah gembur yang tak kurang humus sempat menjadikan Jatimaras sebagai lumbung pertanian terbaik di Kecamatan Amparanjati selama 10 tahun yang lalu.

Kang Darno jadi teringat kembali bujukan Rus untuk menjual traktor peninggalan orang tuanya. Haji Markum, satu-satunya orang yang diharapkannya untuk memberi pekerjaan, malah berniat mengubah tanah pertaniannya menjadi pekarangan yang siap ditanami bangunan. Kang Darno juga ingat putra sulungnya, Rano.

Anaknya yang satu ini memiliki kecerdasan seperti Rus. Akan sangat disayangkan jika tidak didukung untuk melanjutkan pendidikannya. Tetapi, Kang Darno juga teringat akan pesan orang tuanya untuk tidak menjual traktor peninggalan itu. Bagaimanapun wasiat orang tuanya tidak bisa begitu saja ia ingkari. Lalu Kang Darno ingat, traktornya sudah satu bulan lebih belum keluar “kandang” karena permintaan membajak sawah di Jatimaras berkurang drastis, bahkan tidak ada sama sekali pada musim tanam sekarang ini. Ditambah lagi, ia harus bersaing dengan Karmil, Bende, dan Gajol yang memang berprofesi sebagai pembajak sawah tulen dengan keahlian yang lebih mumpuni.

Baca Juga: Cerpen Tengka Karya Rofiatul Adawiyah

Pikiran Kang Darno terus berkelindan, bergantian dari Haji Markum ke Rus, ke Rano, ke mendiang orang tuanya, ke traktor, ke Karmil, Bende, dan Gajol, lalu kembali lagi ke Haji Markum. Pikiran-pikiran itu berpusing di kepala Kang Darno setelah pulang dari rumah Haji Markum siang tadi.

“Tunggu apa lagi, Kang?” bujuk Rus sesampainya Kang Darno di rumah dengan muka kusut.

“Nunggu aku rela, Bu.”

Kang Darno masuk ke serambi dan duduk di balai-balai yang terletak persis di samping traktor warisan orang tuanya. Dipandanginya traktor itu dengan penuh kegamangan. Cat traktor yang berwarna merah telah mengelupas di sana-sini. Rus mengikutinya dan berdiri tepat di samping kanan Kang Darno.

“Apa lagi yang bisa dibajak di Jatimaras ini, Kang?”

“Lantas bagaimana, Bu? Ini peninggalan orang tua kita.”

“Orang tua kita mewariskan traktor ini sebagai harapan, Kang,” ungkap Rus dengan suara tertahan. Ia duduk di samping suaminya dan ikut memperhatikan traktor di depannya. Besi traktor yang puluhan tahun menemani keluarga Kang Darno tampak berkarat. Di beberapa bagian terdapat lumpur kering bekas bajakan musim sebelumnya.

“Maksudmu?”

“Ya agar kita bisa menggarap sawah dan mewarisi semangat mereka sebagai petani.”

“Kalau tidak ada lagi lahan yang bisa digarap, harapan itu bakal sia-sia, Kang,” lanjut Rus. Dipandangnya wajah Kang Darno yang mulai berkerut karena usia. Pandangan Mata keduanya saling bertangkap. Rus tersenyum getir, seolah tahu betul apa yang dirisaukan suaminya itu.

Angin kemarau berembus, membuat serpihan genting rumah Kang Darno jatuh menimpa badan traktor dan memperdengarkan denting kecil yang sunyi. Kang Darno bangkit dari balai-balai dan beranjak ke pintu serambi yang menghadap pelataran rumah. Daun-daun pisang bergoyang dimainkan angin dan menimbulkan derak yang khas. Satu dua anak ayam menciap, kehilangan induknya.

“Kalau traktor ini kujual, kita mau makan apa?” tanya Kang Darno.

“Akang bisa berdagang, misalnya. Toh sekalipun traktor ini tetap tidak Akang jual, tidak banyak yang dapat kita harapkan, Kang. Orang-orang tak lagi tertarik menggarap sawah. Pertanian tak lagi menjanjikan bagi mereka,” ungkap Rus tanpa mengesampingkan kegalauan suaminya.

“Rano ingin jadi sarjana pertanian, Kang. Ia telah diterima di perguruan tinggi,” lanjutnya.

“Sama sia-sianya kan, Bu? Apa artinya sarjana pertanian kalau pertanian tak lagi digarap orang?” sanggah Kang Darno. Mata Kang Darno menerawang ke kejauhan. Hamparan persawahan yang dulu hijau di ujung jalan tak lagi tampak. Yang tersisa hanyalah tanah-tanah kavling yang ditinggikan.

“Kau tidak salah, Kang. Tapi kita harap tidak demikian. Orang masih butuh nasi untuk ditanak, dan sayur untuk dimasak.”

Pikir Kang Darno, apa yang dikatakan istrinya memang benar. Lagi pula, traktor tua yang ada di serambi rumahnya tidak banyak menjanjikan penghidupan, terlebih lagi ketika tanah persawahan Jatimaras mulai tidak digarap orang. Pikiran Kang Darno beralih kepada Rano. Menjual traktor peninggalan demi membiayai pendidikan Rano memang naif.

Baca Juga: Cerpen Masalah Pengarang Pemula Karya Edy Firmansyah

Pasalnya, tak banyak uang yang diperoleh dari penjualan itu. Paling hanya bisa menutupi ongkos Rano ke Yogyakarta dan membayar sewa kos beberapa bulan. Tapi Rano bukanlah anak yang bodoh. Ia mewarisi kemandirian petani dan kecerdasan ibunya. Setidaknya, ia bisa mengajukan beasiswa dan kerja sampingan di perantauan nanti. Rano anak petani. Dia tahu betul bagaimana menumbuhkan kehidupan buat dirinya sendiri.

Hari sudah siang. Matahari hampir mencapai puncak langit. Kokok ayam betina yang hendak bertelur membuat Kang Darno berhenti memikirkan traktor dan anak sulungnya. Ada harapan yang perlu dijaga dan diperam demi melahirkan kehidupan baru yang lebih baik, pikir Kang Darno.

Rano, anak sulungnya yang berkeinginan untuk menjadi sarjana pertanian, mesti didukung. Traktor Kang Darno sudah cukup tua untuk terus diharapkan bisa membajak tanah Jatimaras. Sedang tanah Jatimaras tak lagi dianggap menarik untuk digarap sebagai lahan pertanian. Tetapi orang-orang Jatimaras belum bosan makan nasi dan sayur, masih ada harapan.

Barangkali di luar sana traktor Kang Darno menemui tanah gembur yang masih bersedia dibajak. Barangkali kelak Rano pulang membawa gairah yang membuat tanah di Jatimaras ini dibajak kembali. Barangkali dan barangkali, masih banyak yang bisa diharapkan.

Kang Darno melangkahkan kakinya keluar menyusuri jalan tanah yang kanan kirinya ditumbuhi rumput teki. Dari kejauhan, aku melihat ia menuju rumahku. Diketuknya pintu rumahku yang setengah terbuka. Aku melongok, dan traktornya esok pagi ada di pekaranganku. Kuharap kelak Rano pulang ke Jatimaras dan mengajariku menggunakan traktor ini.

Baca Juga: Cerpen UFO Karya Mochamad Bayu Ari Sasmita

 

Tentang Penulis:

A. Rantojati lahir di Cirebon pada 15 Agustus 1992. Kecintaannya pada sastra mengantarkannya menjadi seorang peneliti sastra. Pada waktu senggangnya sebagai peneliti, ia iseng menulis cerita pendek dan puisi. Sejumlah puisi isengnya terhimpun dalam Buku Nasib (2015) dan Merayakan Pagebluk (2020). Ia bisa disapa melalui akun instagramnya, @anto.rantojati, atau pos-el anto.rantojati@gmail.com

Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho! Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku yang dipublikasikan. Kamu bisa baca karya cerpen menarik lainnya di sini, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya di artikel ini. Kami tunggu ya~

IDN CTA Blog ruangbelajar Ruangguru

Ruangguru