Kenapa Kita Mudah Percaya Berita Hoax? Ini Penjelasan & Cara Menghindarinya

Pernah nggak sih kamu merasa yakin sama sebuah berita, tapi ternyata itu hoax? Artikel ini akan mengupas kenapa kita bisa tertipu berita palsu dan bagaimana berita tersebut menyebar begitu cepat.
—
“Si bohong sudah berlari duluan saat si fakta masih mempersiapkan dirinya untuk berlari”. Teman-teman pada ngerti nggak sama pepatah ini? Buat kamu yang suka main di sosial media, pasti sering dengar kata hoax, kan. Nah, yang dimaksud dari pepatah tadi “Si bohong” itu adalah hoax.
Apa itu Hoax?
Hoax atau informasi palsu (false information) adalah informasi yang palsu dan tidak sesuai fakta. Hoax punya sumber yang nggak jelas, dan nggak bisa dipertanggungjawabkan juga benar atau tidak. Informasi yang palsu ini juga menyebar di kalangan masyarakat luas. Hoax bisa berupa teks, gambar, video, bahkan meme yang sengaja disebarkan untuk menipu, memprovokasi, atau memengaruhi opini publik.
Ciri khas dari berita hoax adalah sumbernya yang nggak bisa dipercaya. Entah berasal dari akun anonim, situs abal-abal, atau pesan berantai yang nggak diketahui asal-usulnya. Karena nggak bisa dipertanggungjawabkan, informasi seperti ini mudah menyesatkan banyak orang. Bahkan, di era media sosial seperti sekarang, penyebarannya bisa berlangsung hanya dalam hitungan detik!
Nah, mungkin kamu jadi penasaran, kalau sumbernya aja nggak jelas, kenapa hoax masih bisa menyebar begitu cepat dan dipercaya banyak orang? Ternyata, hoax itu tersebar dengan dua macam pola sampai akhirnya bisa diterima oleh masyarakat. Kira-kira apa aja ya dua pola itu? Yuk, kita bahas bareng-bareng di bawah ini!
Baca Juga: Confirmation Bias: Penjelasan Ilmu Cocoklogi dalam Sains
Bagaimana Proses Hoax Menyebar?
Fenomena penyebaran hoax, bukan sekadar masalah teknologi, tapi juga berkaitan dengan cara manusia menerima dan memproses informasi. Tanpa kita sadari, otak cenderung lebih cepat mempercayai sesuatu yang menarik emosi dibandingkan fakta. Yuk, kita pahami bersama bagaimana pola penyebaran hoax bekerja di tengah arus informasi yang begitu cepat ini!
1. Circular Reporting
Circular reporting adalah berita hoax yang menyebarnya berputar-putar. Misalnya, si media A mencetak suatu berita yang mengandung hoax, lalu si media B juga mencetak berita yang sama seperti si A.
Saat si media A ditanya kebenaran dari berita “hoax” nya, si media A malah menunjuk si media B sebagai sumber berita hoax-nya. Nah loh, blunder kan tuh? Makanya disebut berita yang berputar-putar. Karena saat diminta pertanggungjawaban dari berita yang disebar, media yang terlibat malah saling cetak berita yang sama dan saling tunjuk sumbernya siapa. Hadeuh.

Sumber: newsweek.com
Contoh dari circular reporting yang sempat viral adalah saat majalah asal Amerika Serikat Rolling Stone mencetak cerita di tahun 2014 tentang kekerasan yang terjadi di Universitas Virginia. Rolling Stone menulis bahwa kekerasan itu dilakukan oleh mantan dekan dari universitas tersebut.
Baca Juga: Apa itu Post Truth, Dampak, dan yang Harus Kita Perbuat
Para wartawan dari media lainnya menyelidiki kasusnya lebih lanjut dan malah menemukan hasil yang nggak sinkron. Akhirnya kasus ini dibawa ke pengadilan dengan tuntutan pencemaran nama baik. Sang Juri juga mengatakan kalau si penulis, Sabrina Rubin Erdely, telah melakukan “kejahatan yang sesungguhnya, melaporkan sesuatu yang mengabaikan benar atau tidaknya”.

Bentuk lain dari circular reporting adalah sumbernya ada, tapi sumbernya emang hoax. Jadi, media dan platform informasi lainnya sudah mencetak dan menyebarluaskan berita hoax itu. Tapi saat ditanya beritanya bener apa nggak, si sumber tetap menyebutkan informasi yang palsu. Hmmm, jadi si sumber ini yang bohong ya? Yap, betul!
2. User Generated Content
Kalau pola yang ini adalah saat hoax tersebar melalui user generated platform. User generated platform artinya adalah konten buatan pengguna. Platform yang dimaksud adalah sarana tempat hoax disebarkan.
Jadi, hoax yang tersebar itu berasal dari orang yang menggunakan platform itu sendiri, contohnya seperti Wikipedia. Hah, Wikipedia?! Iya, pada nggak nyangka kan?
Selama ini orang-orang kalau cari informasi yang cepat dan akurat selalu mengandalkan Wikipedia, padahal belum tentu selalu bener loh. Karena Wikipedia punya fitur dimana penggunanya bisa mengedit informasi yang tertera disitu. Selain Wikipedia, platform lain juga bisa jadi sarang hoax seperti Twitter, Facebook, dan Whatsapp. Duh, berarti semuanya nggak ada yang aman dong? Makanya, sebagai netizen kita juga harus pintar memilah informasi yang ada.

Faktor-Faktor yang Mempermudah Penyebaran Hoax
Nah, udah pada tahu kan sekarang gimana proses hoax itu tersebar. Terus, kenapa sih hoax tetap bisa kesebar? Kan ngawur banget tuh, merugikan lagi. Sebelum dumel, ada beberapa alasan yang kamu harus tahu tentang kenapa hoax tetap bisa kesebar.
Baca Juga: Bukan Cuma Janji, Ingatan Palsu Juga Ada, Lho! Gimana Tuh?

1. Rasa Ingin tau yang Tinggi
Yang pertama, karena kita punya rasa ingin tahu yang tinggi, dan saking keponya kita terima aja informasi yang ada tanpa mengecek lagi bener atau nggak-nya. Nah, di sini hoax nggak hanya memanfaatkan sifat kepo manusia, tapi juga kondisi emosi.
Secara psikologis, orang akan cenderung lebih percaya dengan hoax kalau hoax tersebut hampir atau bahkan sama dengan opini kita terhadap sesuatu. Misalnya, kita nggak suka sama pro duk X. Terus, pas ada hoax yang menjelekkan si X, kita percaya-percaya aja karena kita nggak suka juga sama si produk X. Hal ini disebut dengan confirmation bias.
2. Era Digital
Kedua, faktor lainnya adalah karena zaman sekarang udah era digital banget. Sekarang bisa browsing di handphone kita sendiri kalau mau cari info, gampang banget kan tuh. Ternyata, kemudahan bagi kita ini juga kemudahan bagi para pembuat dan penyebar “hoax” untuk menyusup di antara informasi yang benar dan valid.
3. Kecepatan Media Sosial
Ketiga, sekarang ada platform media sosial yang bikin apa aja serba cepat tersebarnya. Sekarang kalau lihat berita, pasti otomatis langsung klik tombol like atau share. Kita like atau share karena saat ada kabar buruk manusia biasanya merasa punya tanggung jawab moral untuk berbagi, nggak peduli kabar buruknya hoax atau fakta.
Makanya ada sebutan “kekuatan ibu jari”, karena hanya dengan mencet tombol like dan share pakai jempol alias ibu jari semua udah tersebar luas. Perlu diingat juga, kalau di era digital ini kita nggak hanya bertukar informasi antar-pertemanan lagi loh, tapi udah antarnegara.
4. Hoax yang sudah Didesain
Keempat, hoax didesain sedemikian rupa supaya dipercaya sama orang-orang. Jadi, hoax dirancang sangat cermat biar bisa dipercaya dan melewati logika analitis manusia. Dengan hoax yang dibuat niat banget kayak begini nih, orang yang sangat pintar sekalipun tetap bisa tertipu. Makanya, jangan pernah malas untuk double check setiap informasi yang kita terima ya!
Baca Juga: Selingkung Bikin Setiap Media Punya Gaya Penulisan Berbeda, Kok Bisa?
Duh, hoax merugikan banget ya. Tapi nyatanya, ada sebagian masyarakat yang diuntungkan dari kerugian ini. Contohnya seperti black campaign atau kampanye hitam, yang dilakukan saat pemilu presiden Amerika Serikat pada tahun 2016.
Saat itu, Amerika Serikat dan dunia sangat digegerkan dengan Donald Trump yang mencalonkan diri sebagai presiden. Beberapa pihak menyebarkan hoax untuk kepentingan masing-masing. Hoax yang disebar juga macam-macam, mulai dari hoax yang menyebarkan kebaikan Donald Trump sampai kejelekannya. Waktu itu hoax yang sempat ramai dibicarakan adalah kalau si Pope Francis (uskup agung) mendukung Donald Trump untuk menjadi presiden Amerika Serikat selanjutnya, padahal sebenarnya itu nggak bener.
Cara Menangkal Hoax
Terus, sekarang gimana caranya supaya kita bisa terhindar dari hoax? Awalnya memang hoax dibiarin aja, tapi untungnya sekarang pemerintah mulai menanggapi penyebaran hoax sebagai hal yang serius. Kalau udah parah banget, bakalan ada kewajiban dari pemerintah untuk membongkar hoax ini demi kepentingan publik.
Di Indonesia sendiri udah ada badan resmi pemerintah yang salah satu tugasnya adalah mengurus dan menahan penyebaran hoax, yaitu Badan Intelijen Negara dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Nggak hanya upaya dari pemerintah, tapi juga harus ada upaya dari pemegang kepentingan di bidang media sosial. Contohnya seperti Facebook yang mulai sadar untuk berbenah diri sejak tahun 2015. Pertama, Facebook mengubah algoritma news feed-nya khusus untuk membendung hoax. Lalu, Facebook juga melarang clickbait yang bertengger di news feed-nya. Dan akhirnya Facebook melarang iklan yang berbau konten negatif.
Selain upaya dari pemerintah dan pemegang kepentingan, kita sebagai masyarakat juga bisa melakukan beberapa hal supaya terbebas dari berita hoax, di antaranya adalah

Emang sih, awalnya seperti sepele dan asal bunyi aja. Tapi hati-hati ya, apalagi kalau di platform media sosial. Walaupun hoax menguntungkan beberapa pihak, tapi keuntungannya juga tidak seberapa dibanding kerugiannya. Jadi, jangan suka menyebar berita yang nggak-nggak ya!
Pokoknya jangan lupa untuk selalu dicek lagi (double check) berita yang kita terima dan pintar-pintar lah sebelum menelan berita yang kita terima. Nah, supaya lebih pintar, yuk belajar dulu di ruangbelajar! Kalian bisa belajar lebih enak dengan video interaktif, abis itu ngerjain soal-soal latihan juga deh!


