Gadis Kecil di Tepi Jalan

Cerpen Gadis Kecil di tepi Jalan Karya Mustoifah

Karya: Mustoifah

Jam dinding tua menunjukkan pukul 01.07 WIB.

Aku bangun dari tempat tidurku, dipan reyot yang selalu ikut bernyanyi ketika aku bergerak sedikit saja. Aku beranjak sangat pelan karena takut adikku terbangun. Lalu duduk di samping jendela sambil memandang bulan yang tampak setengah, bintang-bintang bertabur tak beraturan, aku termenung diiringi lamunan masa lampau. 

“Aku yakin hari esok atau lusa atau entah kapan pun itu impianku akan terwujud. Melihat bocah kecil ini tumbuh menjadi orang yang berguna bagi negeri subur ini. Bocah malang yang tak punya siapapun dan tak punya apapun, bocah yang tak pernah merasakan kebahagiaan di masa kecilnya. Bocah malang ini kini menjadi tanggung jawabku. Aku pasti bisa,” kataku dalam hati.

Lima tahun lalu, ketika sore hari dan hujan sangat lebat, aku menemukan bocah kecil ini di jalanan. Tubuhnya yang mungil, putih, dan rambut lurus yang terurai membuatnya terlihat sangat cantik, bagai Cinderella dalam kartun anak-anak. Dia hanya seorang diri.

“Kamu lagi ngapain di sini dek?” tanyaku ketika itu.

“Mama.. mama… mama… mama,” bocah kecil yang baru berusia sekitar empat tahun itu tersedu.

“Ibumu ke mana? Kamu di sini sama siapa?”

Bocah itu tak menjawab sepatah kata pun,  malah justru menangis.

“Mama… mama…,” isak tangisnya semakin keras.

“Yuk ikut kakak, ke rumah kak Winda. Nanti kita makan. Kamu lapar kan? Kakak juga punya permen di rumah. Jangan nangis, yuk”, ajakku pada anak itu. Orang tuanya pasti akan mencarinya ke sini, maka aku berinisiatif untuk memberikan alamat rumahku pada seorang tukang sapu jalan yang biasa membersihkan sekitar tempat ini. Barangkali beliau akan bertemu dengan orang tua bocah kecil ini.

Anak itu pun mau aku ajak ke rumah. Aku langsung menyuruhnya duduk di lantai yang beralaskan tikar anyaman bambu. Aku memberinya lima butir permen. Aku pun menyiapkan makanan. Keong Mas kecil-kecil hasil tangkapanku pagi itu langsung aku rebus agar racunnya hilang, lalu aku keluarkan isinya. Kusiapkan bumbu-bumbu untuk mengolahnya menjadi masakan istimewa, masakan spesial untuk menyambut adik baruku. Nasi putih masih ada di tudung saji, sisa sarapan pagi.

“Mau kakak suapin atau adik makan sendiri?”, tanyaku.

“Makan sendiri,” jawabnya malu-malu, sangat menggemaskan.

Baca Juga: Cerpen Masih Ada Waktu Karya Eko Triono

Tiga bulan berlalu. Tak ada seorangpun yang datang ke rumahku untuk membawa pulang bocah malang ini. 

“Apakah orang tuanya tidak sadar kalau anaknya tidak sedang bersamanya? apakah mereka justru sengaja membuang bocah kecil ini?” gerutuku dalam hati.

Sejak saat itu, bocah kecil yang aku beri nama Syifa itu menjadi bagian dari hidupku, mewarnai hari-hariku. Dia menjadi tanggung jawabku. Amanah dari Allah untuk menjaga dan merawatnya, serta menjadikan dia orang yang sukses.

Sebenarnya, nasibku tidak jauh beda dengan bocah kecil ini. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, aku yang saat itu baru berusia 7 tahun sedang pergi ke sawah bersama nenekku, menanam biji kacang yang diharapkan bisa dipanen hasilnya untuk kemakmuran warga desa. Nenekku orang yang sangat peduli dengan nasib tetangga-tetangganya. Beliau tidak ingin orang-orang di desanya mengalami kesusahan dalam bidang pangan. 

Ketika itu, ayah dan ibuku sedang berada dirumah. Mereka tengah membersihkan rumah dan halaman yang dipenuhi dedaunan kering yang jatuh berserakan. Rumah kami memang tidak besar, hanya berukuran 5×6 meter persegi, beralaskan tegel atau keramik berwarna hitam zaman dahulu. Di depan rumah ada dua pohon rambutan yang sedang berbunga, satu pohon mangga harum manis, dan beberapa tanaman bunga yang sangat indah bermekaran. Rumah kami tertata rapi, indah, bersih dan nyaman.

Sore itu malapetaka tiba-tiba datang. Tanpa permisi, tanpa salam, langsung memporak-porandakan seluruh bangunan-bangunan yang ada di desaku. Entah mimpi apa, tiba-tiba bencana melanda desaku. Tak pernah ada ancaman apapun sebelumnya bahwa akan terjadi bencana longsor, tapi pada akhirnya memang semua atas kehendak yang Kuasa. Bencana itu merenggut orang-orang yang aku sayang. Perasaan sedih, terpukul, merasa tak punya siap-siapa lagi, dan seluruh perasaan tidak mengenakkan kumpul menjadi satu.  

Ayah ibuku meninggal dunia. Setelah peristiwa itu aku hanya tinggal berdua dengan nenekku karena aku anak tunggal. Nenekku sudah semakin tua, semakin keriput, hanya tersisa tulang dan kulit. Giginya sudah habis, karenanya makan pun cukup langsung ditelan, pendengarannya sudah berkurang. Itu semua memang hukum alam, semua orang akan mengalami. Aku menyuruh beliau untuk tidak banyak melakukan aktifitas, cukup duduk saja, makan, istirahat, dan memanfaatkan sisa hidupnya dengan banyak berdzikir.

Setahun yang lalu nenekku meninggal akibat serangan jantung. Beliau meninggal di usia 68 tahun. Perjuangan beliau untuk memajukan desa ini sungguh luar biasa. Tiap tahun beliau selalu membagikan hasil panennya ke warga sekitar, memberikan tanah garapan untuk digunakan warga bercocok tanam. Dan betapa besar pula usahanya untuk menyekolahkanku hingga lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Nenekku, Supeni sangat menginspirasiku. Beliau adalah sosok kartini sejati.

Baca Juga: Cerpen Teka-Teki Hilangnya Mayor Georg Muller Karya Abdul Hadi

Kini aku hanya tinggal berdua dengan Syifa. Hanya gubuk kecil peninggalan nenek ini yang tersisa. Gubug ini dibangun di suatu daerah yang letaknya jauh dari tempat tinggalku dulu, di daerah terpencil yang masih jarang penduduk. 

“Aku tak ingin hanya menjadi gelandangan tak berguna seperti ini. Bermimpi itu hak semua orang. Meski aku miskin, impianku tak boleh kalah dengan orang-orang kaya yang ada di sana.” bisikku dalam hati.

Adzan berkumandang. Tak terasa pikiranku telah lama melayang-layang tak jelas. Mengingat masa lalu yang begitu menyedihkan. Sesungguhnya aku merasa bersalah. Hingga saat ini aku belum bisa memberikan Syifa pendidikan yang layak. Aku yang notabene hanya lulusan SMA, hanya bisa mengajari dia tentang matematika, tentang IPA, tentang kerajinan tangan dan hal-hal kecil yang masih tersimpan dalam memori otakku.

Tidak pernah kusangka ternyata dia menyimpan banyak potensi dalam bidang seni. Ketika aku mengenalkan hobiku menari jawa kepadanya, dia sangat antusias, dan lama-kelamaan justru dia yang lebih banyak mengeksplor gerakan-gerakan tari baru yang ia buat sendiri.

Hari minggu ini kita ada jadwal latihan menari di sanggar tari Sangga Buana Bintang Kembar yang letaknya agak jauh dari rumah kami. Sanggar tari ini adalah salah satu sanggar tari terbaik meskipun letaknya terpencil. Perjalanan untuk sampai ke sana harus berjalan kaki sekitar 5 km. Aku pikir ini memang perjuangan, langkah awal menuju masa depan lebih baik, meski saat ini masih tampak samar.   

Aku teringat pertemuan pertamaku dengan seorang anak. Tubuhnya yang mungil, putih, dan rambut lurus yang terurai membuatnya terlihat sangat cantik, bagai Cinderella dalam kartun anak-anak. Dan dia sendirian.

 

Tentang Penulis:

Mustoifah lahir di Banyumas, 15 April 1995. Alumni S1 Jurusan Tarbiyah Program studi Pendidikan Bahasa Arab di STAIN Purwokerto. Pernah aktif di komunitas “Pondok Pena” Pesantren Mahasiswa An Najah. Karya-karyanya pernah termuat di beberapa buku antalogi bersama, diantaranya Misteri Jodoh, Selaksa di Tepi Nestapa, Burung Bertasbih, dan sebagainya. 

Ruangguru membuka kesempatan untuk kamu yang suka menulis cerpen dan resensi buku untuk diterbitkan di ruangbaca, lho! Setiap minggunya, akan ada karya cerpen dan resensi buku yang dipublikasikan. Kamu bisa baca karya cerpen menarik lainnya di sini, ya. Yuk, kirimkan karyamu juga! Simak syarat dan ketentuannya di artikel ini. Kami tunggu ya~

IDN CTA Blog ruangbelajar for desktop Ruangguru

Ruangguru