Mengenal 3 Teori Permasalahan Sosial | Sosiologi Kelas 12

Permasalahan sosial terjadi saat kondisi di masyarakat bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku. Nah, dalam Sosiologi kelas 12, ada tiga teori utama yang menjelaskannya. Yuk, kita bahas bareng!
—
Siapa, nih, yang pernah melihat atau bahkan mengalami permasalahan sosial di sekitar? Mulai dari kesenjangan ekonomi, pengangguran, sampai konflik antarwarga. Semua itu termasuk contoh nyata dari permasalahan sosial.
Secara sederhana, permasalahan sosial adalah kondisi yang tidak diinginkan oleh masyarakat karena bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku, serta dapat mengganggu keharmonisan kehidupan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, masalah seperti ini bisa terjadi di berbagai tingkat, baik antarindividu, antarkelompok, maupun antara individu dengan kelompok sosialnya.
Menariknya, meskipun terlihat kompleks dan berbeda-beda di tiap daerah, setiap permasalahan sosial sebenarnya punya dasar ilmiah yang bisa dijelaskan secara sosiologis. Faktor budaya, nilai, pengalaman hidup, hingga kondisi sejarah suatu masyarakat turut mempengaruhi bentuk dan tingkat permasalahan yang muncul.
Nah, untuk memahami akar dan penyebabnya, para sosiolog mengelompokkan permasalahan sosial ke dalam tiga teori utama yang menjelaskan bagaimana dan mengapa konflik sosial bisa terjadi. Yuk, kita bahas satu per satu teori permasalahan sosial ini biar kamu makin paham!
Baca Juga: Masalah Sosial: Pengertian, Faktor Penyebab, Kriteria & Contohnya
Teori Fungsionalis
Dikemukakan oleh Émile Durkheim dan Talcott Parsons, teori ini menjelaskan bahwa semua bagian di masyarakat mempunyai fungsinya masing-masing dalam masyarakat tersebut. Semua bagian masyarakat akan saling bekerjasama untuk membangun tatanan sosial yang stabil dan harmonis.
Bayangkan masyarakat seperti tubuh manusia. Setiap organ punya fungsi penting agar tubuh tetap sehat dan bisa bekerja dengan baik. Nah, begitu pula dengan masyarakat. Setiap lembaga sosial seperti keluarga, sekolah, agama, ekonomi, hingga pemerintahan punya peran dan tanggung jawabnya masing-masing untuk menjaga keseimbangan dan keteraturan sosial.
Jika terdapat satu elemen dari masyarakatnya tidak memfungsikan tugasnya dengan baik, maka dapat menimbulkan ketidakteraturan di sebuah keadaan sosial. Pada akhirnya ketidakteraturan itu menimbulkan suatu bentuk masalah sosial. Misalnya, ketika lembaga keluarga gagal menanamkan nilai dan norma pada anak, atau sekolah tidak mampu menjadi tempat pendidikan moral yang baik, maka perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja atau kekerasan di sekolah bisa muncul.
Berdasarkan teori fungsional ini, ada dua pandangan tentang masalah sosial. Kedua pandangan tersebut adalah patologi sosial dan disorganisasi sosial.
a. Patologi Sosial
Pandangan yang mengibaratkan masalah sosial sebagai “penyakit” dalam “tubuh” masyarakat. Jika salah satu organ (lembaga sosial) tidak berfungsi dengan benar, maka seluruh tubuh akan terdampak. Misalnya, meningkatnya angka kriminalitas bisa dianggap sebagai “gejala” dari keluarga, sekolah, atau sistem hukum yang tidak berfungsi maksimal.
b. Disorganisasi Sosial
Keadaan ketika perubahan sosial berlangsung terlalu cepat, sehingga nilai dan norma yang lama tidak lagi dipegang kuat oleh masyarakat. Contohnya, perubahan gaya hidup di era digital yang membuat sebagian orang mengabaikan norma kesopanan di dunia maya.

Dalam teori fungsionalis, pelaku kriminal termasuk dalam penyakit sosial yang merusak tatanan fungsi sosial di masyarakat yang stabil. (sumber: jogja.tribunnews.com)
Melalui teori fungsionalis, kita diajak untuk melihat bahwa masalah sosial bukan hanya kesalahan individu, melainkan tanda bahwa ada bagian dari sistem sosial yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka dari itu, menjaga fungsi dan keseimbangan antar lembaga sosial menjadi kunci penting agar masyarakat tetap harmonis.
Baca Juga: Mengenal Teori Sosiologi Klasik Hingga Modern dari Berbagai Tokoh
Teori Konflik
Teori ini dikemukakan oleh Karl Marx dan Ralf Dahrendorf. Kalau teori fungsionalis melihat masyarakat seperti tubuh yang berfungsi harmonis, teori konflik justru melihat masyarakat sebagai arena memperebutkan kepentingan. Maksudnya gimana tuh? Jadi, setiap kelompok dalam masyarakat punya tujuan, nilai, dan kepentingan yang berbeda. Ketika kepentingan itu saling bertabrakan, di situlah masalah sosial mulai muncul.
Menurut teori ini, ketimpangan kekuasaan, ekonomi, pendidikan, maupun status sosial menjadi sumber utama konflik sosial. Ada kelompok yang diuntungkan, dan ada pula yang dirugikan. Ketimpangan inilah yang menciptakan jurang sosial di antara warga masyarakat. Ada dua perspektif dalam teori konflik, yaitu teori Marxis dan teori Non-Marxis.
a. Teori Marxis
Teori ini dikembangkan oleh Karl Marx, yang berpendapat bahwa akar permasalahan sosial terletak pada pertentangan antara kelas sosial, terutama antara kaum pemilik modal (borjuis) dengan kaum pekerja (proletar). Menurut Marx, sistem ekonomi kapitalis membuat segelintir orang menguasai sumber daya, sementara sebagian besar lainnya hanya menjadi pekerja yang bergantung pada mereka. Akibatnya, muncul ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial. Dalam konteks sekarang, fenomena seperti upah rendah, PHK massal, atau sulitnya akses pekerjaan bisa dianggap sebagai bentuk modern dari konflik kelas ini.
b. Teori Non-Marxis
Berbeda dengan Marx, Ralf Dahrendorf dan tokoh lainnya berpendapat bahwa konflik tidak selalu soal ekonomi. Konflik juga bisa muncul karena perbedaan nilai, budaya, agama, etnis, bahkan gender. Misalnya, diskriminasi terhadap kelompok tertentu atau kesenjangan kesempatan antara laki-laki dan perempuan juga merupakan bentuk konflik sosial yang lahir dari ketidakseimbangan kekuasaan.
Contoh yang mudah ditemukan di Indonesia, misalnya ketimpangan akses pendidikan antara wilayah kota dan desa. Ketika sebagian besar sekolah unggulan hanya tersedia di kota, masyarakat desa merasa tertinggal dan tidak memiliki kesempatan yang sama. Perasaan tidak adil ini dapat memicu ketegangan sosial.
Teori konflik mengingatkan kita bahwa masalah sosial tidak bisa diselesaikan hanya dengan menjaga keteraturan, tapi juga mewujudkan keadilan dan pemerataan kesempatan bagi semua pihak. Dengan memahami teori ini, kita bisa lebih peka melihat akar ketimpangan yang terjadi di sekitar kita, dan mulai berpikir bagaimana cara menciptakan masyarakat yang lebih setara dan inklusif.
Teori Interaksi Simbolis
Teori interaksionisme simbolik mengajak kita menelusuri hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian, yaitu interaksi antarindividu dalam kehidupan sehari-hari. Teori ini dikemukakan oleh George Herbert Mead dan Herbert Blumer.
Teori ini berangkat dari gagasan bahwa manusia tidak hanya bereaksi terhadap situasi sosial, tetapi menafsirkan dan memberi makna pada setiap tindakan dan simbol yang mereka temui. Misalnya, sebuah senyuman bisa dimaknai sebagai tanda keramahan, tapi bisa juga diartikan sebagai sindiran, tergantung konteks dan hubungan antarindividu yang terlibat.
Dengan kata lain, perilaku sosial lahir dari makna simbolik yang dibangun dan disepakati bersama melalui interaksi. Oleh karena itu, cara orang memaknai suatu tindakan dapat mempengaruhi bagaimana mereka bertindak, dan di sinilah akar dari banyak permasalahan sosial ditemukan.
Ada dua paham dalam teori ini yang mengkaji tentang masalah sosial, yaitu teori pelabelan (labelling theory) dan teori konstruksionisme sosial.
Baca Juga: Teori Konflik Karl Marx dalam Permasalahan Sosial
a. Teori Pelabelan (Labelling Theory)
Menurut teori ini, suatu perilaku atau kondisi dianggap bermasalah ketika masyarakat sudah memberi label negatif padanya. Label tersebut seringkali melekat kuat dan mempengaruhi cara seseorang diperlakukan oleh lingkungannya.
Misalnya, seorang remaja yang pernah terlibat tawuran mungkin langsung dicap “nakal” atau “bermasalah”. Akibatnya, ia dijauhi teman dan guru, sulit dipercaya, bahkan kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri. Ironisnya, perlakuan ini bisa membuatnya benar-benar berperilaku menyimpang, karena ia sudah terjebak dalam label yang diberikan orang lain.
b. Teori Konstruksionisme Sosial (Social Constructionism)
Teori ini menekankan bahwa masalah sosial tidak muncul secara alami, melainkan dibentuk melalui kesepakatan dan interaksi sosial. Ketika sekelompok orang terus-menerus memperlakukan sesuatu yang menyimpang seolah-olah hal itu wajar, maka perilaku tersebut lama-kelamaan dianggap normal.
Contohnya bisa kita lihat pada budaya bullying di sekolah. Ketika siswa menganggap mengejek teman sebagai “candaan”, maka perilaku itu terus berulang hingga akhirnya menjadi bagian dari budaya sosial. Padahal, di sisi lain, tindakan itu menyakiti orang lain dan menciptakan masalah sosial yang lebih besar.
Melalui teori interaksionisme simbolik ini, kita bisa belajar bahwa masalah sosial seringkali lahir dari cara kita memaknai sesuatu, bukan hanya dari tindakan itu sendiri. Persepsi, simbol, dan interaksi sehari-hari, ternyata punya peran besar dalam membentuk realitas sosial di sekitar kita. Dengan memahami hal ini, dapat membantu kita lebih bijak dalam menilai perilaku orang lain serta mencegah lahirnya masalah sosial baru.
—
Gimana? Kira-kira permasalahan sosial yang terjadi di sekitar kamu bisa dipahami melalui teori yang mana, ya? Semoga setelah memahami 3 teori mengenai permasalahan sosial, kamu bisa lebih bijak dalam menghadapi konflik yang terjadi di lingkungan sekitarmu, ya!
Kamu masih ingin belajar lebih lanjut tentang permasalahan sosial? Yuk, belajar di ruangbelajar! Saksikan video belajar beranimasi yang dipandu oleh Master Teacher berpengalaman. Jangan lupa ajak teman-temanmu ya, supaya belajar sosiologi jadi lebih mudah!
Tetap semangat belajarnya ya, guys! 🙂
Referensi:
Ritzer, G. (2014). Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumber Gambar:
https://jogja.tribunnews.com/2020/09/16/terungkap-mayat-perempuan-di-kebun-tebu-di-magelang-pelaku-bunuh-korban-karena-utang.


