dr. Cipto Mangunkusumo dan Wabah Pes 1910 di Indonesia

dr-cipto-mangunkusumo-dan-wabah-pes

Artikel ini bercerita tentang peran dr. Cipto Mangunkusumo dalam memberantas wabah pes yang terjadi di Indonesia pada tahun 1910.

Nggak kerasa ya, wabah Covid-19 sudah setahun di Indonesia. Sudah setahun sekolah online, sudah setahun gak ketemu temen kelas 🙁 Tapi, kamu tahu gak, sebelum ada wabah Covid-19 ini, Indonesia juga pernah diserang wabah yang cukup mematikan. Wabah ini membuat aktivitas masyarakat sempat lumpuh dan membuat tenaga medis kewalahan. Wabah itu bernama pes.  Bukan Pro Evolution Soccer (PES) ya, tapi wabah yang disebabkan bakteri yersinia pestis (pes).

Penyakit ini berasal dari tikus yang terinfeksi bakteri pes. Penularannya lewat kutu-kutu di badan tikus yang menggigit manusia. Manusia yang terkena penyakit pes, berpotensi menularkan penyakitnya kepada manusia lainnya. Mirip seperti penyebaran virus Covid-19.

Penyakit ini menimbulkan gejala yang beda-beda tergantung bagian tubuh yang terinfeksi. Bagian tubuh yang bisa terserang bakteri ini adalah getah bening, paru-paru, dan pembuluh darah. Ini termasuk penyakit yang mematikan, loh. 

Tahun 1400, Eropa diserang wabah pes. Penyakit ini disebut black death atau maut hitam. Wabah ini memakan korban sebanyak 25 juta orang atau lebih dari sepertiga populasi penduduk Eropa saat itu.

Pada tahun 1910, wabah ini masuk ke Indonesia. Kok bisa? Lalu apa kaitannya wabah pes dengan dr. Cipto Mangunkusumo?

Perjalanan Wabah Pes Masuk ke Indonesia

Jadi gini, pada tahun 1905-1910, saat masa pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia mengalami gagal panen. Ini membuat ketersediaan bahan pangan terus berkurang, sedangkan masyarakat butuh makan setiap hari. Pemerintah Hindia-Belanda memutuskan untuk impor beras dari Myanmar. Sebenarnya, waktu itu sudah ada peringatan kalau di Myanmar sedang ada wabah pes. Tapi karena butuh, pemerintah tetap mengimpor beras ini dengan alasan bahwa tikus di Myanmar berbeda dengan tikus lokal.

perjalanan-wabah-pes-1910-masuk-ke-indonesia

Akhirnya beras impor dari Myanmar masuk ke Indonesia melalui pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, lalu dikirim ke Malang. Ternyata, di karung beras impor itu ada tikus yang terinfeksi bakteri pes. Ternyata tikus tersebut bisa beradaptasi dan hidup di Malang. Satu bulan kemudian, dilaporkan ada 17 orang meninggal di Malang. Karena media komunikasi di masa itu belum secanggih sekarang, jadi persebaran informasi tentang wabah ini terhambat. 

Kronologi Penyebaran Wabah Pes

Tapi, sebelum ke Malang, beras ini, kan, masuk Surabaya terlebih dahulu. Lalu kenapa bakteri ini menyebar di Malang duluan, bukan di Surabaya? Pada masa itu, Malang terkenal memiliki daerah yang sejuk dibandingkan daerah lainnya. Bakteri pes ini, bisa bertahan hidup lebih lama di daerah yang sejuk. Karena inilah tikus yang terinfeksi bakteri pes tadi bisa bertahan dan menyerang manusia.

Saat wabah pes terjadi,  Indonesia, termasuk Malang sedang berada di masa kolonial feodal dan rasisme. Pada masa itu, kekuasaan berada di tangan penjajah, raja, pejabat, dan bangsawan. Rakyat yang tidak masuk ke dalam golongan tersebut, termasuk golongan ‘orang kebanyakan’ atau rakyat jelata. 

Adanya kolonial feodal dan rasisme ini membuat kehidupan berkasta menjadi berkembang saat itu. Banyak ketidakadilan, ketidakbebasan, dan penghinaan terhadap rakyat. Pada masa itu, mereka yang punya kekuasaan bersikap diskriminatif dan sewenang-wenang kepada masyarakat pribumi. Kalau bisa dibilang, mereka hanya cari aman dan nyaman untuk kaum mereka sendiri. Jangankan membantu rakyat yang terkena pes, dalam kehidupan sehari-hari, untuk dekat dengan rakyat pun mereka enggan. Padahal, mereka butuh rakyat untuk diperas tenaganya menjadi pekerja kasar.

Baca juga: Ki Hadjar Dewantara: Sang Bapak Pendidikan Nasional

Pada masa itu juga, tidak semua orang Indonesia bisa bersekolah di sekolah Eropa. Akibatnya, banyak rakyat Indonesia yang bodoh dan terbelakang. Mereka tidak tahu kalau gubuk bambu mereka adalah sarang dan tempat berkembang.

jumlah-korban-meninggal-akibat-pes-1913-1915

Jahatnya lagi, rakyat harus membiayai sendiri perbaikan rumah mereka agar tidak jadi sarang tikus. Pemerintah saat itu juga mengabaikan biaya perawatan dan pengobatan rakyat yang sakit pes. Padahal, penyakit ini bisa menular ke siapa saja, termasuk ke kaum mereka, atau bahkan menyebar ke daerah selain Malang.

Perjalanan dr. Cipto Mangunkusumo Melawan Wabah dan Kolonial

Saat itu, dr. Cipto sudah lulus dari Stovia (sekolah tinggi kedokteran yang didirikan Belanda, sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). dr. Cipto sudah ditempatkan di beberapa daerah seperti Batavia, Amuntai, Banjarmasin, dan Demak. Pada tahun 1908, dr. Cipto memutuskan untuk resign dan pindah ke Solo untuk membuka praktik sendiri.

Biodata dr. Cipto Mangunkusumo

Keterangan biografi

Nama 

Tjipto (Cipto) Mangunkusumo

Tanggal lahir

4 Maret 1886

Tempat lahir

Pecangakan, Ambarawa, Semarang

Meninggal

Jakarta, 8 Maret 1943

Pendidikan

– Europeesche Lagere School (ELS) (1899)

– STOVIA (1905)

Profesi

Dokter, Penulis, Politikus

Mendapatkan gelar pahlawan nasional pada tahun 1964 melalui SK Presiden RI No 109 tahun 1964 

(Tabel biodata dr. Cipto Mangunkusumo)

 

Mendengar ada wabah pes di Malang, dr. Cipto meminta kepada pemerintah untuk menugaskannya ke Malang. Saat itu, dokter Eropa di Batavia lumayan banyak, tapi tidak ada yang mau turun tangan membantu rakyat karena mereka teringat dengan black death yang pernah terjadi di Eropa 500 tahun silam.

Ironisnya, dokter-dokter Eropa ini menghina dokter Jawa dengan menyebut mereka sebagai pengecut. Padahal, mereka sendiri tidak punya perikemanusiaan untuk menolong korban wabah pes saat itu.

Pemerintah yang abai dengan kondisi rakyat, dokter-dokter yang enggan turun tangan, rakyat yang minim pengetahuan, ditambah dengan hinaan dokter Eropa terhadap dokter Jawa semakin membakar semangat dr. Cipto untuk menolong rakyat. Kondisi ini membuat dr. Cipto semakin yakin bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari penjajah untuk rakyat terjajah.

Saat tiba di Malang, dr. Cipto langsung menyisir pelosok-pelosok desa yang terkena wabah pes. Jika saat ini kamu melihat dokter-dokter yang menangani wabah Covid-19 mengenakan alat perlindungan diri (APD) yang lengkap dan juga masker, saat itu dr. Cipto turun tanpa menggunakan masker. Padahal, seperti yang kita tahu, wabah pes ini bisa menyerang paru-paru.

Ia menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.

Selama menangani wabah, pemerintah Hindia-Belanda meminta 20 orang dokter untuk membantu menolong rakyat. Dari 20 orang itu, hanya 2 yang menyatakan kesediaan. 2 dokter itu adalah mahasiswa Indonesia. Kebayang gak? Betapa sulitnya menangani wabah pes dengan jumlah korban yang tidak sebanding dengan jumlah tenaga medis saat itu. Apalagi, alat-alat kesehatan saat itu pasti tidak secanggih saat ini. Ketersediaan APD juga sangat langka. Mereka yang berani turun untuk membantu rakyat ini adalah yang berhasil memenuhi panggilan jiwa sebagai tenaga medis dan punya rasa kemanusiaan yang tinggi. 

Saat berada perjalanan, di sebuah pelosok desa, dr. Cipto mendengar suara tangisan bayi. Setelah didekati, ternyata benar, ada seorang bayi perempuan di sebuah gubuk yang setengahnya hangus terbakar. Orang tua bayi itu meninggal akibat penyakit pes. Karena kasihan, akhirnya bayi perempuan itu diasuh, dididik, dan dibesarkan oleh dr. Cipto dan istrinya yang bernama Nyonya de Vogel.

Bayi perempuan ini diberi nama Pesjati. Nama ini diberikan untuk mengingat bahwa Indonesia pernah dilanda wabah mengerikan bernama ‘pes’. Pesjati mengenyam pendidikan di Sekolah Kepandaian Puteri. Setelah lulus, Pesjati menikah dengan seorang pemuda bernama Pratomo, dan dr. Cipto bertindak sebagai wali.

Penghargaan untuk dr. Cipto Mangunkusumo

Atas peran dr. Cipto dalam melawan wabah ini, beliau dianugerahi bintang penghargaan Ridder in de Orde van Oranje Nassau dari Ratu Wilhelmina. Tapi, akhirnya penghargaan itu dikembalikan ke pemerintah hindia belanda karena permohonannya untuk ikut membasmi wabah pes di kota Solo ditolak oleh pemerintah.

Empat tahun setelah wabah pes masuk ke Indonesia, dr. Cipto mengemukakan uraian ilmiah tentang penyakit pes dalam sebuah pidato. Mulai dari apa itu pes, sejarahnya, macam-macam pes, bagaimana bakteri ini menjangkit manusia, dan cara memberantasnya. Dalam pidato itu juga, dr. Cipto mengatakan “Adalah tidak bertanggungjawab untuk membiarkan beribu-ribu orang jatuh menjadi korban pes dengan harapan wabah itu akhirnya bosan meminta korban orang Jawa. Tidak! Kita tidak boleh lengah!”

Melalui uraian itu, dr. Cipto mengobarkan semangat nasionalisme. Pidato yang ia tulis dalam bahasa Belanda itu juga membuktikan kepada bangsa Belanda bahwa masyarakat pribumi mampu menyamai intelektual kulit putih, dan juga bangsa kulit berwarna bukanlah bangsa rendahan. Dan juga membuktikan kalau dokter Jawa tidak pengecut. 

Penanganan Wabah Pes oleh Pemerintah Hindia Belanda

Pada tahun 1915, pemerintah Hindia-Belanda membentuk lembaga khusus untuk memberantas wabah pes. Lembaga ini bernama Dienst der Pestbestrijding. Tindakan pemerintah kolonial ini bisa dibilang terlambat, setelah 5 tahun wabah terjadi dan memakan puluhan ribu korban baru dibentuk lembaga khusus ini. Tapi, bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

Lembaga ini bertugas untuk melakukan kegiatan preventif yang bersifat pencegahan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait penyebaran dan gejala pes. Selain itu juga lembaga ini melakukan tindakan kuratif berupa pengobatan dan perawatan kepada korban yang positif pes yang dilanjutkan dengan proses pemulihan dan penyembuhan. Setelah itu, mulai dibangun banyak rumah sakit sipil atau rumah sakit milik pemerintah. Upaya pembersihan dan pembangunan rumah rakyat juga dilakukan agar tikus tidak bersarang di sana. 

Setelah itu, pada tahun 1918 dikabarkan bahwa kasus pes semakin menurun. Pada tahun 1920-1930an, kabar kasus baru pes sudah jarang bahkan tidak diberitakan lagi di surat kabar. Kemudian pada tahun 1934 vaksin pes yang aman bagi manusia berhasil ditemukan oleh seorang dokter bernama Louis “Lou” Otten. Nama dokter Otten ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Kota Bandung.

 

Gimana? dr. Cipto keren ya, kayak superhero. Disaat dokter-dokter lain enggan, dr. Cipto justru menawarkan diri untuk membantu rakyat, padahal, nyawanya yang jadi taruhan. Salah satu cara menghargai jasa pahlawan adalah dengan tidak melupakan jasa-jasanya. Kamu bisa belajar tentang banyak pahlawan dan sejarah Indonesia dengan cara yang menyenangkan. Belajar apa saja dengan video animasi dan juga latihan soal hanya di ruangbelajar

IDN CTA Blog ruangbelajar for desktop Ruangguru

 

Referensi:

Reksodiharjo, Soegeng. 1992. ‘dr. Cipto Mangunkusumo [daring]. Tautan:  http://repositori.kemdikbud.go.id/7478/1/DR.%20CIPTO%20MANGUNKUSOMO.pdf (Diakses pada: 17 Maret 2021)

Dahlan, Juniawan. 2017. ‘Cipto Mangunkusumo: Menembus Batas dan Lawan Diskriminasi’ [daring]. Tautan:  https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mkn/cipto-mangunkusumo-menembus-batas-dan-lawan-diskriminasi/ (Diakses pada: 17 Maret 2021)

Kur’anania, Siti. 2019. ‘Upaya Penanggulangan Penyakit Pes di Afdeeling Kediri Tahun 1911-1913’ [daring]. Tautan: http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-verleden950c4a3409full.pdf (Diakses pada 18 Maret 2021)

Thamrin, Mahandis. 2020. ‘Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda’ [daring]. Tautan: https://nationalgeographic.grid.id/read/132090830/karut-marut-pagebluk-pes-pertama-di-hindia-belanda?page=all (Diakses pada: 19 Maret 2021)

 

 

 

Devi Lianovanda